Berpetualanglah seluas-luasnya,menulis dan belajarlah sebanyak-banyaknya,cari pengalaman sedalam-dalamnya,bercita-citalah setinggi-tingginya,berdoa dan tawakal sesering-seringnya,kamu akan menemukan dirimu di sana

Rabu, 15 Mei 2013

Bukan Dukuh Paruk


Pagi ini terasa berbeda,udara sejuk itu menyambut pagiku. Suara-suara daun dari pohon bambu yang bergoyang tertiup angin,mengisi ruang pendengaranku. Aroma dari tungku dapur sudah memasuki sistem pernapasanku. Sungguh pagi yang menenangkan jiwa. Berbeda dari hari kemarin dimana aku masih berada di rumahku di salah satu perumahan di kota Bandung. Di Bandung aku di bangunkan oleh suara kendaraan yang siap melaju untuk mengantar sang empunya beraktifitas. Mengantar anak ke sekolah,orang dewasa yang sibuk memulai hari nya untuk bekerja.           
“ah jelas saja berbeda,mayoritas penduduk kota bekerja di kantor atau perusahaan serta terbiasa dengan gaya hidup yang kemana-mana pakai kendaraan bermotor. Tentu saja pagi hariku di sambut suara bising kendaraan”
fikirku saat mengumpulkan nyawa sembari duduk di atas kasur agar sadar untuk bangun.
            Perjalanan yang cukup melelahkan baru saja ku tempuh. Menghabiskan waktu di jalan kira-kira 10 jam di atas bis antar provinsi. Dengan jarak lebih dari 450 km antara Bandung ke Boyolali. Untung saja ini bukan musim mudik dimana masyarakat urbanisasi akan kembali ke desa untuk berkumpul bersama keluarganya merayakan hari raya Idul Fitri. Mungkin perjalanan yang harusnya hanya 10 jam bisa menjadi 16 jam. Ini akibat dari membludaknya kendaraan di jalan,dalam waktu bersamaan yang menyebabkan kemacetan.
Mudik telah menjadi tradisi di indonesia setiap tahunnya. Aku termasuk yang terlibat di dalamnya. Meski aku dilahirkan di Bandung dan memiliki akta kelahiran Bandung,kedua orang tua ku adalah penduduk urbanisasi. Ibuku asli Boyolali dan dapat dipastikan setiap tahun kami akan melaksanakan tradisi mudik ke Boyolali.
            Biasa nya jika aku pergi ke rumah nenek ku di Boyolali,aku bersama orang tua ku.
Tapi dalam kondisi bebas seperti sekarang,aku hijrah sendiri ke Boyolali. Naik bis dengan jarak tempuh cukup jauh seorang diri adalah pengalaman pertamaku selama 17 tahun menghuni bumi. Aku baru saja lulus dari sebuah SMA.
Tujuanku pergi ke Boyolali tentunya untuk mencari pengalaman baru. Harusnya aku sudah kuliah,merasakan bangku perguruan tinggi. Tapi akibat kegagalanku dalam seleksi SNMPTN yang lalu,dunia perkuliahan itu harus aku tunda sampai tahun depan. Kurangnya persiapan cadangan adalah salah satu penyebabnya. Padahal aku sudah cukup belajar untuk menghadapi SNMPTN ini. Namun persaingan yang cukup ketat itu terjadi. Menurutku ini akibat dari pertumbuhan penduduk Indonesia yang sudah terlalu banyak. Ketidakseimbangan antara bangku yang tersedia dengan
peminat.
 Bukan berarti harus berbanding lurus, jumlah bangku dan peminat tetapi ini memang perbandingan yang cukup jauh. Bayangkan saja untuk jurusan yang aku minati yaitu fakultas ilmu komunikasi aku harus bersaing dengan lima ribu peserta lain sedangkan hanya lima ratus kursi saja yang tersedia. Bagaimana dengan fakultas kedokteran yang dari tahun ke tahun menjadi favorit karena dianggap jaminan masa depan yang baik.
Status ku saat ini memang tidak enak. Pengangguran. Eiiitsss tapi aku ke Boyolali kan untuk mencari pekerjaan supaya waktu ku tidak terbuang sia-sia. Lagi pula usia ku masih 17 tahun. Teman-teman seangkatanku sudah berusia 18 tahun. Aku memang terlalu cepat masuk sekolah. Sewaktu kecil aku tidak merasakan pendidikan taman kanak-kanak,orang tua ku bilang karena aku sudah bisa membaca dan menulis aku langsung saja dimasukkan ke sekolah dasar. Semoga setahun masa pencarianku bermanfaat.
            “Mba Ayuuuu antar bulek ke pasar yu....!” terdengar suara bulek mengajakku dengan volume agak keras dari dapur.
Aku sedikit berlari kecil menghampiri bulek. Saat itu aku sedang berada di depan rumah menemani Fa’i adik sepupuku yang sedang bermain dengan mobil-mobilannya sembari membaca sebuah buku yang kubawa yang menceritakan kehidupan ronggeng yang tinggal di sebuah dukuh.
            “Antar kemana bulek? Naik motor?” tanyaku karena suara bulek tadi tidak begitu jelas.
            “ke pasar senggol. Nanti bulek tunjukkan jalannya. Iya naik motor. Bisa bawa motor kan?”.
            “bisa bulek” jawabku.
            Aku segera mengambil kunci motor yang tergeletak di meja dekat tv di rumah bulek. Bulek adalah adik perempuan mama. Bisa juga dipanggil tante tapi kami tidak terbiasa. Bulek dan suaminya juga kedua anaknya memang tinggal bersama simbok dan mbah bi. Simbok itu nenekku. Sebenarnya dalam bahasa jawa kata ‘Simbok’ memiliki arti ibu. Tapi kami cucu-cucu nya terbawa oleh orang tua kami memanggil nenekku dengan sebutan simbok. Mbah bi,ya beliau adalah kakekku.
            Aku sudah bersiap duduk di atas kuda besi matic milik bulek. Dari sana aku melihat bulek membawa setengah karung beras.
            “kenapa bawa beras sama kacang panjang?” tanyaku.
            “buat dijual ndoek,nanti uangnya buat belanja”
            “dijualnya kemana?”
            “ya ke pasar senggol juga”
            Penduduk di dukuh Kadirejo memang mayoritas adalah petani. Tetapi banyak juga yang bekerja di kantor atau menjadi guru dan lainnya. Dukuh kadirejo lebih dikenal dengan nama Nglebak dan dibaca dengan logat Jawa karena jika tidak,akan terasa aneh di dengar.
            Dengan hati-hati aku mengendarai motor melewati jalan yang di semen kanan kiri nya saja, pas untuk ukuran ban mobil. Jalanan di tengah nya terisi oleh batu-batu yang cukup besar yang dengan alami tertata. Batunya mirip batu kali. Dekat memang jarak dari rumah ke pasar. Ditempuh dengan berjalan pun bisa. Pasar senggol ternyata tidak seperti pasar yang kuduga dan biasa kulihat. Aktivitas yang dilakukan memang sama yaitu jual beli hanya saja jumlah penjual tidak sebanyak yang ada di pasar pada umumnya. Mereka menggelar dagangannya diatas dipan-dipan yang terbuat dari bambu. Beberapa diantaranya menggunakan atap yang  juga terbuat dari bambu. Modelnya seperti pos ronda.
Ternyata di sini sistem menjual hasil tani dan uangnya digunakan untuk membeli kebutuhan yang lain adalah hal biasa. Aku tersenyum melihatnya. Mirip dengan sistem barter namun nilai dari satuan barang jelas sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.
Aku memandangi kegiatan ini dari jauh.
           
“Tadi beli apa aja bulek?”
“nih ada nasi gudang buat sarapan,ada ketan,sama sayuran buat di masak,sama tempe juga”.
Nasi gudang ini menurutku salah satu makanan khas,aku tak mampu menemukannya di Bandung. Setiap ada di desa aku bisa merasakan makanan ini. Di bungkus daun pepaya berisikan sedikit nasi,urap-urap dari dedaunan,tempe,tahu,dan telur puyuh rebus. Hanya dengan seribu rupiah kita dapat merasakan makanan ini. Sungguh harga yang sangat terjangkau untuk sebungkus nasi. Saat memakan nasi gudang aku sering memisahkan sebagian urap-urap karena aku tidak menyukainya. Diantara dedeaunan di urap tersebut terdapat daun yang hanya dapat ditemukan di sini daun adas namanya.
Bulek tadi membeli tempe,salah satu favoritku. Tempe di desa berbeda rasanya dengan yang sering mama beli di Bandung. Kacang kedelai sebagai bahan utama hanya dicampur ragi saja tanpa campuran lain. Aku masih bisa melihat butiran-butiran utuh kedelai. Sedangkan di Bandung banyak yang mencampurnya dengan jagung sehingga membuat rasanya berbeda. Bahkan ada yang menggunakan air sungai yang tidak bersih untuk mencuci dan merendam kedelai. Sungguh merusak kelezatan rasa tempe. Tempe si makanan murah dan bergizi yang mudah dijumpai di Indonesia.

            Sudah dua minggu aku berada di dukuh Kadirejo ini. Kegiatan membantu pekerjaan rumah tangga menjadi kebiasaan. Sembari melamar pekerjaan di sekitar Boyolali termasuk kota Solo. Pantas saja banyak orang desa pindah ke kota untuk mendapat kerja. Di sini dari lebih dari 12 lamaran pekerjaan yang aku masukkan,dan beberapa sudah interview tak ada yang deal menjadi pekerjaanku. Aku cari info di koran dan internet namun tak sebanyak di kota besar lapangan pekerjaan yang tersedia.
            Pagi hari ini ada kegiatan berbeda yang kulakukan. Mengantar beras dan hasil tani lainnya dalam bakul kepada pasangan baru yang mengadakan hajatan. Tradisi disini yang dinamakan nyumbang. Biasanya aku menghadiri pesta pernikahan dengan pakaian rapi lalu memberi amplop berisi uang. Disini warga pakai baju sekenanya bahkan ada yang masih pakai baju tani datang pagi-pagi ke tempat hajat dengan membawa sebakul sumbangan. Sang punya hajat akan mengisi kembali bakul itu dengan makanan yang disediakan. Aku melihat isinya ada 2 tandu pisang,dan jenang.
            “Mau kemana fin?” tanyaku pada sepupuku. Fini saat ini duduk di kelas 3 SMP dan ia adalah kakak kandung Rifa’i yang kami panggil dengan sebutan fa’i yang masih TK.
            “Mau nginom”
            “Nginom apaan?” tanyaku sambil mengganti-ganti chanel tv.
            “Menghidangkan jamuan buat tamu. Ada acara pengajian di mbah Sum”
            “Siapa aja?”
            “ya yang muda-muda disini. Yang ikutan remaja mesjid”
Oh jadi ini tradisi lain yang ada disini. Gumamku dalam hati. Sungguh kekeluargaan yang cukup kuat antar warga. Di perumahanku belum tentu antar tetangga saling kenal. Wong sibuk masing-masing. Aku ikut remaja mesjid dan tarka juga di Bandung, tetapi kalau ada yang hajat yang menghidangkan paling pihak keluarga yang punya hajat.
            Petualanganku mencari jati diri terus berlanjut. Kembali kutemukan keunikan. Di dukuh kadirejo ini jarng terdapat toko atau warung. Suatu hari bulek menyuruhku membeli telur. Dan telur itu kudapat bukan dari toko atau warung tetapi langsung dari peternak ayam. Begitupun saat kami menginginkan telur puyuh langsung membeli ke peternakannya.
            “fin punya kertas polio?”
            “ga punya mba”
            “anterin beli yu. Dimana adanya?”
            “harus ke Simo mba”
Simo merupakan salah satu kecamatan yang ada di sini. Bisa dibilang Simo adalah kotanya desa-desa karena disini berbagai macam kebutuhan dan jajanan pinggir jalan,supermarket banyak tersedia.
            “Ya udah anter yuk naik motor”
            “udah pernah coba tiwul belum mba? Makan dulu tuh cobain. kan setiap lebaran belum pernah bikin. Pasti belum pernah coba"
            “hehehe emang belum pernah. Enak engga?”
            “cobain dulu aja..”
Aku mengambil secuil tiwul dari yang tersedia. Coba dulu sedikit, jadi kalau engga suka engga usah dilanjut makannya. Lumayan. Rasanya seperti ketela alias singkong.
            “emang ini dibuat dari apa bulek?” tanyaku pada bulek yang baru saja datang dari sawah.
            “dari singkong dijemur terus ditumbuk lalu di kukus. Mbah bi makan itu aja juga cukup engga makan nasi”
            “oh jadi dulu ini bisa jadi pengganti nasi ya?”
            “iya lauknya ya kluban itu. Enak kan?”
Aku hanya tersenyum dan menjawab iya.
            “Dari sawah ngapain bulek? Udah panen?”
            “matun”
            “matun apaan?”
            “bersihin rumput liar yang ada di sekeliling padi. Tadi Cuma bantuin yang kerja. Besok antar makanan ke sawah ya buat yang kerja,sekalian ngelihat yang matun”
            “Oke!” kataku
            “Sekarang aja perginya fin....” ajakku pada
Saat kami pergi ke Simo hari telah sore,kami berdua pergi ke Simo untuk membeli kertas polio dan beberapa alat tulis lainnya. Kertas polio yang kugunakan untuk melamar kerja karena stok yang ku punya sudah habis. Kami harus melewati jalan mulus yang berliku. Jalan satu-satunya yang dapat kami tempuh dari dukuh Kadirejo ke Simo.Jalan beraspal yang mengelilingi sebuah gunung bernama gunung madu. Pemandangan khas disuguhkan oleh gunung ini. Lima buah gua yang terdapat di gunung madu menjadi daya tarik tersendiri. Konon gua ini digunakan saat zaman penjajahan jepang.
            “wah kalau dirawat bisa jadi tempat wisata gua nih!” seruku pada fini saat ia mengendarai motornya.
Salah satu pintu masuk dari gua tersebut digunakan oleh pedagang mie ayam untuk mangkal.
Di malam hari keindahan itu berubah menjadi ketakutanku akan bahaya yang bisa saja terjadi. Lampu penerangan yang kurang dan semakin was-was saat melewati mulut-mulut gua. Takut muncul sesuatu dari dalamnya.hahaha.
           
            Sudah sebulan aku berpetualang di sini. Pengalaman yang tak akan terlupakan menghabiskan waktu di sebuah dukuh. Meski dukuh ini bukan dukuh paruk seperti cerita dalam buku yang ku baca.



Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba yang diadakan Kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif bekerjasama dengan NulisBuku.com & Plot Point mengadakan kompetisi menulis Tulis Nusantara Dan Alhamdulillah belum menang juga oleh karena nya saya posting saja di blog.hhehe..... ;) ngomong-ngomong judulnya kaya sinetron-sinetron Indonesia ya.hahaha
Setelah dibaca ulang kelemahannya adalah ceritanya tidak fokus. Yang satu belum selesai udah ganti lagi.
Kritik dan saran anda terhadap karya saya akan menjadi motivasi bagi saya agar dapat membuat dan berkarya yang lebih baik.
Salam Meriza Lestari





Keywords: cerpen nusantara, cerpen , contoh cerpen, tulis nusantara,
           

1 komentar:

  1. Saya asli orang klego. Menarik cerpennya. Terimakasih telah memperkenalkan budaya yang ada di boyolali. Salam Kenal. Saya Danik aprilia :)

    BalasHapus

terima kasih atas kunjungannya....
tinggalkan jejak anda dengan berkomentar :)