Pagi ini terasa berbeda,udara sejuk itu menyambut pagiku.
Suara-suara daun dari pohon bambu yang bergoyang tertiup angin,mengisi ruang
pendengaranku. Aroma dari tungku dapur sudah memasuki sistem pernapasanku.
Sungguh pagi yang menenangkan jiwa. Berbeda dari hari kemarin dimana aku masih
berada di rumahku di salah satu perumahan di kota Bandung. Di Bandung aku di
bangunkan oleh suara kendaraan yang siap melaju untuk mengantar sang empunya
beraktifitas. Mengantar anak ke sekolah,orang dewasa yang sibuk memulai hari
nya untuk bekerja.
“ah jelas saja berbeda,mayoritas penduduk kota bekerja di
kantor atau perusahaan serta terbiasa dengan gaya hidup yang kemana-mana pakai
kendaraan bermotor. Tentu saja pagi hariku di sambut suara bising kendaraan”
fikirku
saat mengumpulkan nyawa sembari duduk di atas kasur agar sadar untuk bangun.
Perjalanan yang cukup melelahkan
baru saja ku tempuh. Menghabiskan waktu di jalan kira-kira 10 jam di atas bis
antar provinsi. Dengan jarak lebih dari 450 km antara Bandung ke Boyolali.
Untung saja ini bukan musim mudik dimana masyarakat urbanisasi akan kembali ke
desa untuk berkumpul bersama keluarganya merayakan hari raya Idul Fitri.
Mungkin perjalanan yang harusnya hanya 10 jam bisa menjadi 16 jam. Ini akibat
dari membludaknya kendaraan di jalan,dalam waktu bersamaan yang menyebabkan
kemacetan.
Mudik
telah menjadi tradisi di indonesia setiap tahunnya. Aku termasuk yang terlibat
di dalamnya. Meski aku dilahirkan di Bandung dan memiliki akta kelahiran
Bandung,kedua orang tua ku adalah penduduk urbanisasi. Ibuku asli Boyolali dan
dapat dipastikan setiap tahun kami akan melaksanakan tradisi mudik ke Boyolali.
Biasa nya jika aku pergi ke rumah
nenek ku di Boyolali,aku bersama orang tua ku.
Tapi
dalam kondisi bebas seperti sekarang,aku hijrah sendiri ke Boyolali. Naik bis
dengan jarak tempuh cukup jauh seorang diri adalah pengalaman pertamaku selama
17 tahun menghuni bumi. Aku baru saja lulus dari sebuah SMA.
Tujuanku
pergi ke Boyolali tentunya untuk mencari pengalaman baru. Harusnya aku sudah
kuliah,merasakan bangku perguruan tinggi. Tapi akibat kegagalanku dalam seleksi
SNMPTN yang lalu,dunia perkuliahan itu harus aku tunda sampai tahun depan.
Kurangnya persiapan cadangan adalah salah satu penyebabnya. Padahal aku sudah
cukup belajar untuk menghadapi SNMPTN ini. Namun persaingan yang cukup ketat
itu terjadi. Menurutku ini akibat dari pertumbuhan penduduk Indonesia yang
sudah terlalu banyak. Ketidakseimbangan antara bangku yang tersedia dengan
peminat.
peminat.
Bukan berarti harus berbanding lurus, jumlah
bangku dan peminat tetapi ini memang perbandingan yang cukup jauh. Bayangkan
saja untuk jurusan yang aku minati yaitu fakultas ilmu komunikasi aku harus
bersaing dengan lima ribu peserta lain sedangkan hanya lima ratus kursi saja
yang tersedia. Bagaimana dengan fakultas kedokteran yang dari tahun ke tahun
menjadi favorit karena dianggap jaminan masa depan yang baik.
Status
ku saat ini memang tidak enak. Pengangguran. Eiiitsss tapi aku ke Boyolali kan
untuk mencari pekerjaan supaya waktu ku tidak terbuang sia-sia. Lagi pula usia
ku masih 17 tahun. Teman-teman seangkatanku sudah berusia 18 tahun. Aku memang
terlalu cepat masuk sekolah. Sewaktu kecil aku tidak merasakan pendidikan taman
kanak-kanak,orang tua ku bilang karena aku sudah bisa membaca dan menulis aku
langsung saja dimasukkan ke sekolah dasar. Semoga setahun masa pencarianku
bermanfaat.
“Mba Ayuuuu antar bulek ke pasar
yu....!” terdengar suara bulek mengajakku dengan volume agak keras dari dapur.
Aku
sedikit berlari kecil menghampiri bulek. Saat itu aku sedang berada di depan
rumah menemani Fa’i adik sepupuku yang sedang bermain dengan mobil-mobilannya
sembari membaca sebuah buku yang kubawa yang menceritakan kehidupan ronggeng yang tinggal di sebuah dukuh.
“Antar kemana bulek? Naik motor?”
tanyaku karena suara bulek tadi tidak begitu jelas.
“ke pasar senggol. Nanti bulek
tunjukkan jalannya. Iya naik motor. Bisa bawa motor kan?”.
“bisa bulek” jawabku.
Aku segera mengambil kunci motor
yang tergeletak di meja dekat tv di rumah bulek. Bulek adalah adik perempuan
mama. Bisa juga dipanggil tante tapi kami tidak terbiasa. Bulek dan suaminya
juga kedua anaknya memang tinggal bersama simbok dan mbah bi. Simbok itu
nenekku. Sebenarnya dalam bahasa jawa kata ‘Simbok’ memiliki arti ibu. Tapi kami
cucu-cucu nya terbawa oleh orang tua kami memanggil nenekku dengan sebutan
simbok. Mbah bi,ya beliau adalah kakekku.
Aku sudah bersiap duduk di atas kuda
besi matic milik bulek. Dari sana aku melihat bulek membawa setengah karung
beras.
“kenapa bawa beras sama kacang
panjang?” tanyaku.
“buat dijual ndoek,nanti uangnya
buat belanja”
“dijualnya kemana?”
“ya ke pasar senggol juga”
Penduduk di dukuh Kadirejo memang
mayoritas adalah petani. Tetapi banyak juga yang bekerja di kantor atau menjadi
guru dan lainnya. Dukuh kadirejo lebih dikenal dengan nama Nglebak dan dibaca
dengan logat Jawa karena jika tidak,akan terasa aneh di dengar.
Dengan hati-hati aku mengendarai
motor melewati jalan yang di semen kanan kiri nya saja, pas untuk ukuran ban
mobil. Jalanan di tengah nya terisi oleh batu-batu yang cukup besar yang dengan
alami tertata. Batunya mirip batu kali. Dekat memang jarak dari rumah ke pasar.
Ditempuh dengan berjalan pun bisa. Pasar senggol ternyata tidak seperti pasar
yang kuduga dan biasa kulihat. Aktivitas yang dilakukan memang sama yaitu jual
beli hanya saja jumlah penjual tidak sebanyak yang ada di pasar pada umumnya.
Mereka menggelar dagangannya diatas dipan-dipan yang terbuat dari bambu.
Beberapa diantaranya menggunakan atap yang
juga terbuat dari bambu. Modelnya seperti pos ronda.
Ternyata
di sini sistem menjual hasil tani dan uangnya digunakan untuk membeli kebutuhan
yang lain adalah hal biasa. Aku tersenyum melihatnya. Mirip dengan sistem
barter namun nilai dari satuan barang jelas sehingga tidak ada pihak yang
dirugikan.
Aku
memandangi kegiatan ini dari jauh.
“Tadi beli apa aja bulek?”
“nih ada nasi gudang buat sarapan,ada ketan,sama sayuran
buat di masak,sama tempe juga”.
Nasi gudang ini menurutku salah satu makanan khas,aku tak
mampu menemukannya di Bandung. Setiap ada di desa aku bisa merasakan makanan
ini. Di bungkus daun pepaya berisikan sedikit nasi,urap-urap dari
dedaunan,tempe,tahu,dan telur puyuh rebus. Hanya dengan seribu rupiah kita
dapat merasakan makanan ini. Sungguh harga yang sangat terjangkau untuk
sebungkus nasi. Saat memakan nasi gudang aku sering memisahkan sebagian
urap-urap karena aku tidak menyukainya. Diantara dedeaunan di urap tersebut
terdapat daun yang hanya dapat ditemukan di sini daun adas namanya.
Bulek
tadi membeli tempe,salah satu favoritku. Tempe di desa berbeda rasanya dengan
yang sering mama beli di Bandung. Kacang kedelai sebagai bahan utama hanya
dicampur ragi saja tanpa campuran lain. Aku masih bisa melihat butiran-butiran
utuh kedelai. Sedangkan di Bandung banyak yang mencampurnya dengan jagung
sehingga membuat rasanya berbeda. Bahkan ada yang menggunakan air sungai yang
tidak bersih untuk mencuci dan merendam kedelai. Sungguh merusak kelezatan rasa
tempe. Tempe si makanan murah dan bergizi yang mudah dijumpai di Indonesia.
Sudah dua minggu aku berada di dukuh
Kadirejo ini. Kegiatan membantu pekerjaan rumah tangga menjadi kebiasaan.
Sembari melamar pekerjaan di sekitar Boyolali termasuk kota Solo. Pantas saja
banyak orang desa pindah ke kota untuk mendapat kerja. Di sini dari lebih dari
12 lamaran pekerjaan yang aku masukkan,dan beberapa sudah interview tak ada
yang deal menjadi pekerjaanku. Aku cari info di koran dan internet namun tak
sebanyak di kota besar lapangan pekerjaan yang tersedia.
Pagi hari ini ada kegiatan berbeda
yang kulakukan. Mengantar beras dan hasil tani lainnya dalam bakul kepada
pasangan baru yang mengadakan hajatan. Tradisi disini yang dinamakan nyumbang. Biasanya aku menghadiri pesta
pernikahan dengan pakaian rapi lalu memberi amplop berisi uang. Disini warga
pakai baju sekenanya bahkan ada yang masih pakai baju tani datang pagi-pagi ke
tempat hajat dengan membawa sebakul sumbangan. Sang punya hajat akan mengisi
kembali bakul itu dengan makanan yang disediakan. Aku melihat isinya ada 2
tandu pisang,dan jenang.
“Mau kemana fin?” tanyaku pada
sepupuku. Fini saat ini duduk di kelas 3 SMP dan ia adalah kakak kandung Rifa’i
yang kami panggil dengan sebutan fa’i yang masih TK.
“Mau nginom”
“Nginom apaan?” tanyaku sambil
mengganti-ganti chanel tv.
“Menghidangkan jamuan buat tamu. Ada
acara pengajian di mbah Sum”
“Siapa aja?”
“ya yang muda-muda disini. Yang
ikutan remaja mesjid”
Oh
jadi ini tradisi lain yang ada disini. Gumamku dalam hati. Sungguh kekeluargaan
yang cukup kuat antar warga. Di perumahanku belum tentu antar tetangga saling
kenal. Wong sibuk masing-masing. Aku ikut remaja mesjid dan tarka juga di
Bandung, tetapi kalau ada yang hajat yang menghidangkan paling pihak keluarga
yang punya hajat.
Petualanganku mencari jati diri
terus berlanjut. Kembali kutemukan keunikan. Di dukuh kadirejo ini jarng
terdapat toko atau warung. Suatu hari bulek menyuruhku membeli telur. Dan telur
itu kudapat bukan dari toko atau warung tetapi langsung dari peternak ayam.
Begitupun saat kami menginginkan telur puyuh langsung membeli ke peternakannya.
“fin punya kertas polio?”
“ga punya mba”
“anterin beli yu. Dimana adanya?”
“harus ke Simo mba”
Simo
merupakan salah satu kecamatan yang ada di sini. Bisa dibilang Simo adalah
kotanya desa-desa karena disini berbagai macam kebutuhan dan jajanan pinggir
jalan,supermarket banyak tersedia.
“Ya udah anter yuk naik motor”
“udah pernah coba tiwul belum mba?
Makan dulu tuh cobain. kan setiap lebaran belum pernah bikin. Pasti belum
pernah coba"
“hehehe emang belum pernah. Enak
engga?”
“cobain dulu aja..”
Aku
mengambil secuil tiwul dari yang tersedia. Coba dulu sedikit, jadi kalau engga
suka engga usah dilanjut makannya. Lumayan. Rasanya seperti ketela alias
singkong.
“emang ini dibuat dari apa bulek?”
tanyaku pada bulek yang baru saja datang dari sawah.
“dari singkong dijemur terus
ditumbuk lalu di kukus. Mbah bi makan itu aja juga cukup engga makan nasi”
“oh jadi dulu ini bisa jadi
pengganti nasi ya?”
“iya lauknya ya kluban itu. Enak
kan?”
Aku
hanya tersenyum dan menjawab iya.
“Dari sawah ngapain bulek? Udah
panen?”
“matun”
“matun apaan?”
“bersihin rumput liar yang ada di
sekeliling padi. Tadi Cuma bantuin yang kerja. Besok antar makanan ke sawah ya
buat yang kerja,sekalian ngelihat yang matun”
“Oke!” kataku
“Sekarang aja perginya fin....”
ajakku pada
Saat
kami pergi ke Simo hari telah sore,kami berdua pergi ke Simo untuk membeli
kertas polio dan beberapa alat tulis lainnya. Kertas polio yang kugunakan untuk
melamar kerja karena stok yang ku punya sudah habis. Kami harus melewati jalan
mulus yang berliku. Jalan satu-satunya yang dapat kami tempuh dari dukuh
Kadirejo ke Simo.Jalan beraspal yang mengelilingi sebuah gunung bernama gunung
madu. Pemandangan khas disuguhkan oleh gunung ini. Lima buah gua yang terdapat
di gunung madu menjadi daya tarik tersendiri. Konon gua ini digunakan saat
zaman penjajahan jepang.
“wah kalau dirawat bisa jadi tempat
wisata gua nih!” seruku pada fini saat ia mengendarai motornya.
Salah
satu pintu masuk dari gua tersebut digunakan oleh pedagang mie ayam untuk
mangkal.
Di
malam hari keindahan itu berubah menjadi ketakutanku akan bahaya yang bisa saja
terjadi. Lampu penerangan yang kurang dan semakin was-was saat melewati
mulut-mulut gua. Takut muncul sesuatu dari dalamnya.hahaha.
Sudah sebulan aku berpetualang di sini. Pengalaman yang
tak akan terlupakan menghabiskan waktu di sebuah dukuh. Meski dukuh ini bukan
dukuh paruk seperti cerita dalam buku yang ku baca.
Cerpen ini pernah diikutsertakan dalam lomba yang diadakan Kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif bekerjasama dengan NulisBuku.com & Plot Point mengadakan kompetisi menulis Tulis Nusantara
Dan Alhamdulillah belum menang juga oleh karena nya saya posting saja di blog.hhehe..... ;) ngomong-ngomong judulnya kaya sinetron-sinetron Indonesia ya.hahaha
Setelah dibaca ulang kelemahannya adalah ceritanya tidak fokus. Yang satu belum selesai udah ganti lagi.
Kritik dan saran anda terhadap karya saya akan menjadi motivasi bagi saya agar dapat membuat dan berkarya yang lebih baik.
Salam Meriza Lestari
Kritik dan saran anda terhadap karya saya akan menjadi motivasi bagi saya agar dapat membuat dan berkarya yang lebih baik.
Salam Meriza Lestari
Keywords: cerpen nusantara, cerpen , contoh cerpen, tulis nusantara,
Saya asli orang klego. Menarik cerpennya. Terimakasih telah memperkenalkan budaya yang ada di boyolali. Salam Kenal. Saya Danik aprilia :)
BalasHapus